Tampilkan postingan dengan label Penyejuk hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penyejuk hati. Tampilkan semua postingan

Kamis, 31 Januari 2013


Di antara bentuk akhlak mulia yang diajarkan oleh Islam adalah senantiasa bermuka manis di hadapan orang lain. Bahkan hal ini dikatakan oleh Syaikh Musthafa Al ‘Adawi menunjukkan sifat tawadhu’ seseorang. Namun sayangnya sedikit di antara kita yang mau memperhatikan akhlak mulia ini. Padahal di antara cara untuk menarik hati orang lain dalam berdakwah adalah dengan akhlak mulia. 

Lihatlah bagaimana akhlak mulia ini diwasiatkan oleh Luqman pada anaknya,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS. Lukman: 18).

Ibnu Katsir menjelaskan mengenai ayat tersebut, “Janganlah palingkan wajahmu dari orang lain ketika engkau berbicara dengannya atau diajak bicara. Muliakanlah lawan bicaramu dan jangan bersifat sombong. Bersikap lemah lembutlah dan  berwajah cerialah di hadapan orang lain” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 11: 56).

Dari sahabat Abu Dzar radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ الْمَعْرُوفِ شَيْئًا وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ بِوَجْهٍ طَلْقٍ

Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun juga walau engkau bertemu saudaramu dengan wajah berseri” (HR. Muslim no. 2626).

Begitu pula dengan wajah ceria dan berseri akan mudah menarik hati orang lain ketika diajak pada Islam dan kepada kebaikan. Senyum manis adalah di antara modal ketika berdakwah. Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّكُمْ لَا تَسَعُونَ النَّاسَ بِأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ لِيَسَعْهُمْ مِنْكُمْ بَسْطُ الْوَجْهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ

Sesungguhnya kalian tidak bisa menarik hati manusia dengan harta kalian. Akan tetapi kalian bisa menarik hati mereka dengan wajah berseri dan akhlak yang mulia” (HR. Al Hakim dalam Mustadrak-nya. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Jarir radhiallahu’anhu, ia berkata,

مَا حَجَبَنِى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – مُنْذُ أَسْلَمْتُ ، وَلاَ رَآنِى إِلاَّ تَبَسَّمَ فِى وَجْهِى

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menghalangiku sejak aku memberi salam dan beliau selalu menampakkan senyum padaku” (HR. Bukhari no. 6089 dan Muslim no. 2475).

Wajah berseri dan tersenyum termasuk bagian dari akhlak mulia. Ibnul Mubarak berkata bahwa makna ‘husnul khuluq’ (akhlak mulia) adalah

طَلاَقَةُ الوَجه ، وَبَذْلُ المَعروف ، وَكَفُّ الأذَى

Wajah berseri, berbuat kebaikan (secara umum) dan menghilangkan gangguan” (Dinukil dari Riyadhus Shalihin karya Imam Nawawi rahimahullah).

Sedangkan orang yang berakhlak mulia disebutkan dalam hadits dari Jabir radhiallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَىَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّى مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقًا

Orang yang paling dicintai di antara kalian dan yang paling dekat duduk denganku di hari kiamat adalah yang paling bagus akhlaknya” (HR. Tirmidzi no. 2018. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Namun wajah berseri ini tidaklah setiap saat dan tidak ditujukan pada setiap orang. Ketika menghadapi orang yang lebih pantas dimarahi (bukan diberi senyuman), juga di hadapan orang kafir maka kita tidak menyikapi seperti itu sebagaimana diterangkan oleh Ash Shan’ani dalam Subulus Salam. Juga amat bahaya jika seorang gadis memberi senyuman kepada laki-laki karena godaannya amat besar.

Ya Allah, berikanlah kami anugerah dengan akhlak yang mulia dan selalu berwajah ceria di hadapan saudara-saudara kami.

Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.

Referensi:
  1. 1. Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, terbitan Muassasah Qurthubah, cetakan pertama, 1421 H.
  2. 2. At Tawadhu’, Abu ‘Abdillah Musthafa bin Al ‘Adawi, terbitan Maktabah Makkah.
  3. 3. Subulus Salam, Ash Shan’ani.
  4. 4. Riyadhush Shalihin, Imam Nawawi.


Penulis: M. Abduh Tuasikal
Artikel By: Muslim.Or.Id


Sabtu, 08 Desember 2012

Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

 Dari ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah akan mengangkat sebagian kaum dengan Kitab ini, dan akan merendahkan sebagian kaum yang lain dengannya pula.” (HR. Muslim dalam Kitab Sholat al-Musafirin [817]).

Shofwan bin ‘Asal al-Muradi berkata: Aku pernah datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku datang untuk menuntut ilmu.” Beliau pun menjawab, “Selamat datang, wahai penuntut ilmu. Sesungguhnya penuntut ilmu diliputi oleh para malaikat dan mereka menaunginya dengan sayap-sayap mereka. Kemudian sebagian mereka (malaikat, pent) menaiki sebagian yang lain sampai ke langit dunia karena mencintai apa yang mereka lakukan.” (lihat Akhlaq al-’Ulama, hal. 37).

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebagian di antara tanda dekatnya hari kiamat adalah diangkatnya ilmu, kebodohan merajalela, khamr ditenggak, dan perzinaan merebak.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-’Ilm[80] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2671]). Yang dimaksud terangkatnya ilmu bukanlah dicabutnya ilmu secara langsung dari dada-dada manusia. Akan tetapi yang dimaksud adalah meninggalnya para ulama atau orang-orang yang mengemban ilmu tersebut (lihatFath al-Bari [1/237]).

Hal itu telah dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Abdullah bin Amr al-Ash radhiyallahu’anhuma, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu itu secara tiba-tiba -dari dada manusia- akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan cara mewafatkan para ulama. Sampai-sampai apabila tidak tersisa lagi orang alim maka orang-orang pun mengangkat pemimpin-pemimpin dari kalangan orang yang bodoh. Mereka pun ditanya dan berfatwa tanpa ilmu. Mereka itu sesat dan menyesatkan.” (HR. Bukhari dalamKitab al-’Ilm [100] dan Muslim dalam Kitab al-’Ilm [2673]).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “… Kebutuhan kepada ilmu di atas kebutuhan kepada makanan, bahkan di atas kebutuhan kepada nafas. Keadaan paling buruk yang dialami orang yang tidak bisa bernafas adalah kehilangan kehidupan jasadnya. Adapun lenyapnya ilmu menyebabkan hilangnya kehidupan hati dan ruh. Oleh sebab itu setiap hamba tidak bisa terlepas darinya sekejap mata sekalipun. Apabila seseorang kehilangan ilmu akan mengakibatkan dirinya jauh lebih jelek daripada keledai. Bahkan, jauh lebih buruk daripada binatang di sisi Allah, sehingga tidak ada makhluk apapun yang lebih rendah daripada dirinya ketika itu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 96).

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata, “Allah subhanahu menjadikan ilmu bagi hati laksana air hujan bagi tanah. Sebagaimana tanah/bumi tidak akan hidup kecuali dengan curahan air hujan, maka demikian pula tidak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan ilmu.” (lihat al-’Ilmu, Syarafuhu wa Fadhluhu, hal. 227).

Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj an-Nubuwwah, hal. 390-391).

Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah berkata, “Ilmu tidak diukur semata-mata dengan banyaknya riwayat atau banyaknya pembicaraan. Akan tetapi ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam hati. Dengan ilmu itulah seorang hamba bisa memahami kebenaran. Dengannya pula seorang hamba bisa membedakan antara kebenaran dengan kebatilan. Orang yang benar-benar berilmu akan bisa mengungkapkan ilmunya dengan kata-kata yang ringkas dan tepat sasaran.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 39).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian sekarang ini berada di masa para ulamanya masih banyak dan tukang ceramahnya sedikit. Dan akan datang suatu masa setelah kalian dimana tukang ceramahnya banyak namun ulamanya amat sedikit.” (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 40).

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, bahwa ahli ilmu yang sejati adalah orang-orang yang ilmunya telah sampai ke dalam hatinya, oleh sebab itu mereka bisa memahami berbagai perumpamaan yang diberikan oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 50).

Imam Ibnul A’rabi rahimahullah berkata, “Seorang yang berilmu tidak dikatakan sebagai alim robbani sampai dia menjadi orang yang -benar-benar- berilmu, mengajarkan ilmunya, dan juga mengamalkannya.” (lihat Fath al-Bari [1/197]).

Lebih daripada itu, ahli ilmu yang sejati adalah yang selalu merasa takut kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya yang benar-benar merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28). Karena ilmu dan rasa takutnya kepada Allah, maka para ulama menjadi orang-orang yang paling jauh dari hawa nafsu dan paling mendekati kebenaran sehingga pendapat mereka layak diperhitungkan dalam kacamata syari’at Islam (lihat Qowa’id fi at-Ta’amul ma’al ‘Ulama, hal. 52).

Masruq berkata, “Sekadar dengan kualitas ilmu yang dimiliki seseorang maka sekadar itulah rasa takutnya kepada Allah. Dan sekadar dengan tingkat kebodohannya maka sekadar itulah hilang rasa takutnya kepada Allah.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136).

Sa’id bin Jubair rahimahullah berkata, “Sesungguhnya rasa takut yang sejati itu adalah kamu takut kepada Allah sehingga menghalangi dirimu dari berbuat maksiat. Itulah rasa takut. Adapun dzikir adalah sikap taat kepada Allah. Siapa pun yang taat kepada Allah maka dia telah berdzikir kepada-Nya. Barangsiapa yang tidak taat kepada-Nya maka dia bukanlah orang yang -benar-benar- berdzikir kepada-Nya, meskipun dia banyak membaca tasbih dan tilawah al-Qur’an.” (lihat Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar, hal. 31).

Ibnu Wahb menceritakan, suatu saat Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata: Aku tidak takut apabila kelak ditanyakan kepadaku, Hai Uwaimir, apa yang sudah kamu ilmui?”. Namun, aku khawatir jika ditanyakan kepadaku, “Apa yang sudah kamu amalkan dari ilmu yang sudah kamu ketahui?”. Karena Allah tidak memberikan ilmu kepada seseorang selama dia hidup di dunia melainkan pasti  menanyainya pada hari kiamat (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136).

Ibnu Baththal berkata, “Barangsiapa yang mempelajari hadits demi memalingkan wajah-wajah manusia kepada dirinya maka kelak di akherat Allah akan memalingkan wajahnya menuju neraka.” (lihat Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal, 1/136).

Waki’ bin al-Jarrah rahimahullah berkata, “Barangsiapa menimba ilmu hadits sebagaimana datangnya (apa adanya, pen) maka dia adalah pembela Sunnah. Dan barangsiapa yang menimba ilmu hadits untuk memperkuat pendapatnya semata maka dia adalah pembela bid’ah.” (lihat Mukadimah Tahqiq Kitab az-Zuhd karya Imam Waki’, hal. 69).

Hisyam ad-Dastuwa’i rahimahullah berkata, “Demi Allah, aku tidak mampu untuk berkata bahwa suatu hari aku pernah berangkat untuk menuntut hadits dalam keadaan ikhlas karena mengharap wajah Allah ‘azza wa jalla.” (lihat Ta’thirul Anfas, hal. 254).

Sa’ad bin Ibrahim rahimahullah pernah ditanya; Siapakah yang paling fakih (paham agama, pent) di antara ulama di Madinah? Maka beliau menjawab, “Yaitu orang yang paling bertakwa di antara mereka.” (lihat Ta’liqat Risalah Lathifah, hal. 44).

Ibnus Samak rahimahullah berkata, “Wahai saudaraku. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain untuk ingat kepada Allah sementara dia sendiri melupakan Allah. Betapa banyak orang yang menyuruh orang lain takut kepada Allah akan tetapi dia sendiri lancang kepada Allah. Betapa banyak orang yang mengajak ke jalan Allah sementara dia sendiri justru meninggalkan Allah. Dan betapa banyak orang yang membaca Kitab Allah sementara dirinya tidak terikat sama sekali dengan ayat-ayat Allah. Wassalam.” (lihatTa’thirul Anfas, hal. 570).

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa yang rusak di antara ahli ibadah kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Nasrani. Barangsiapa yang rusak di antara ahli ilmu kita maka pada dirinya terdapat kemiripan dengan orang Yahudi.” Ibnul Qoyyim mengatakan, “Hal itu dikarenakan orang Nasrani beribadah tanpa ilmu sedangkan orang Yahudi mengetahui kebenaran akan tetapi mereka justru berpaling darinya.” (lihat Ighatsat al-Lahfan, hal. 36).

Imam Ibnul Qoyyim rahimahulllah berkata, “… Seandainya ilmu bisa bermanfaat tanpa amalan niscaya Allah Yang Maha Suci tidak akan mencela para pendeta Ahli Kitab. Dan jika seandainya amalan bisa bermanfaat tanpa adanya keikhlasan niscaya Allah juga tidak akan mencela orang-orang munafik.” (lihat al-Fawa’id, hal. 34).

Sufyan rahimahullah pernah ditanya, “Menuntut ilmu yang lebih kau sukai ataukah beramal?”. Beliau menjawab, “Sesungguhnya ilmu itu dimaksudkan untuk beramal, maka jangan tinggalkan menuntut ilmu dengan dalih untuk fokus beramal, dan jangan tinggalkan amal dengan dalih untuk fokus menuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 44-45).

Abu Abdillah ar-Rudzabari rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang berangkat menimba ilmu sementara yang dia inginkan semata-mata ilmu, maka ilmunya tidak akan bermanfaat baginya. Dan barangsiapa yang berangkat menimba ilmu dalam rangka mengamalkan ilmu, niscaya ilmu yang sedikit pun akan bermanfaat baginya.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71).

Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun tatkala perpisahanku dengannya, “Kepada siapakah aku duduk/berteman dan belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia. Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak menasehatimu dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72).

Syaikh Abdurrazzaq al-Badr menceritakan: Suatu saat aku mengunjungi salah seorang bapak tua yang rajin beribadah di suatu masjid tempat dia biasa mengerjakan sholat. Beliau adalah orang yang sangat rajin beribadah. Ketika itu dia sedang duduk di masjid -menunggu tibanya waktu sholat setelah sholat sebelumnya- maka akupun mengucapkan salam kepadanya dan berbincang-bincang dengannya. Aku  berkata kepadanya, “Masya Allah, di daerah kalian ini banyak terdapat para penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Kukatakan, “Iya benar, di daerah kalian ini masya Allah banyak penuntut ilmu.” Dia berkata, “Daerah kami ini!”. Dia mengulangi perkataannya kepadaku dengan nada mengingkari. “Daerah kami ini?!”. Kukatakan, “Iya, benar.” Maka dia berkata, “Wahai puteraku! Orang yang tidak menjaga sholat berjama’ah tidak layak disebut sebagai seorang penuntut ilmu.” (lihat Tsamrat al-’Ilmi al-’Amal, hal. 36-37).

Bertakwalah, Wahai Para Penimba Ilmu!

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jika kalian bertakwa kepada Allah niscaya Allah akan menjadikan untuk kalian furqan, menghapuskan dosa-dosa kalian dan mengampuninya untuk kalian. Allah lah pemilik keutamaan yang sangat besar.” (QS. Al-Anfal: 29).

Tatkala seorang hamba menunaikan ketakwaan kepada Rabb-nya maka itu merupakan tanda kebahagiaan dan alamat kemenangan baginya. Allah telah menyiapkan balasan yang melimpah berupa kebaikan di dunia dan di akhirat bagi orang yang bertakwa. Dalam ayat di atas, Allah menyebutkan bahwa orang yang bertakwa kepada Allah akan memetik empat keutamaan:

  1. 1. Furqan; yaitu berupa ilmu dan hidayah yang dengannya ia bisa membedakan antara petunjuk dengan kesesatan, antara kebenaran dengan kebatilan, antara halal dengan haram, antara golongan orang yang berbahagia dengan golongan orang yang celaka.
  2. 2. Dihapuskannya dosa.
  3. 3. Pengampunan atas dosa. Kedua istilah ini sama maksudnya jika disebutkan dalam keadaan terpisah dari yang satunya. Adapun jika disebutkan secara beriringan, maka yang dimaksud dengan penghapusan dosa adalah untuk dosa-dosa kecil sedangkan yang dimaksud dengan pengampunan dosa ialah untuk dosa-dosa besar.
  4. 4. Pahala dan ganjaran yang melimpah ruah bagi orang-orang yang bertakwa kepada-Nya dan lebih mengutamakan keridhoan-Nya di atas hawa nafsu mereka (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 319 cet. Ar-Risalah).

Ciri orang yang bertakwa itu adalah orang-orang yang menghiasi dirinya dengan aqidah sahihah dan amal salih; baik amal batin maupun amal lahiriyah. Sebagaimana telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Yaitu orang-orang yang beriman terhadap perkara gaib, mendirikan sholat, dan menyisihkan infak dari sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan orang-orang yang beriman terhadap apa yang diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang diwahyukan -kepada nabi-nabi- sebelummu. Dan terhadap akhirat mereka pun meyakininya.” (QS. Al-Baqarah: 3-4).

Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa ciri utama orang yang bertakwa adalah mengimani perkara yang gaib. Hakikat iman itu sendiri adalah membenarkan secara pasti terhadap segala yang diberitakan oleh para rasul, yang di dalam pembenaran itu telah terkandung ketundukan anggota badan terhadap ajaran mereka. Memang, yang menjadi ukuran utama keimanan bukanlah keyakinan terhadap perkara yang terjangkau oleh indera. Sebab hal itu tidaklah membedakan antara orang yang muslim dengan yang kafir. Sesungguhnya yang menjadi karakter ketakwaan yang paling utama adalah iman terhadap perkara gaib; sesuatu yang tidak bisa kita lihat secara langsung dan tidak kita saksikan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 40 cet. Ar-Risalah).

Wallahu a’lam. Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.

_

Penulis: Ari Wahyudi
Artikel Muslim.Or.Id Hakikat dan Buah Ilmu, Sebuah Rahasia Kejayaan

Senin, 03 Desember 2012

Kisah mengharukan syahidah Banan Thantawi yang dibunuh oleh dinas intelijen Suriah


 Seorang wanita muslimah menjenguk suaminya di penjara rezim Nushairiyah Suriah. Ia tidak mengeluhkan sulitnya penghidupan dirinya dan anak-anaknya selama suaminya berada dalam penjara. Justru ia menghibur suaminya dengan kata-kata indah yang akan senantiasa dicatat dengan tinta emas sejarah.
Wanita muslimah yang gagah berani itu menenangkan hati dan pikiran suaminya. Ia mengatakan kepada suaminya,
لاَ تَحْزَنْ وَ لاَ تُفَكِّرْ فِيَّ وَ لاَ فِي أَهْلِكَ وَ لاَ فِي مَالِكَ وَ لاَ فيِ وَلَدِكَ ..وَ لَكِنْ فَكِّرْ فِي دِينِكَ وَ وَاجِبِكَ وَ دَعْوَتِكَ .. فَإِنَّا وَ اللهِ لاَ نَطْلُبُ مِنْكَ شَيْئًا يَخُصُّنَا .. وَ إِنَّمَا نَطْلُبُكَ فِي ْالمَوْقِفِ السَّلِيمِ اْلكَرِيمِ الَّذِي يُبَيِّضُ وَجْهَكَ .. وَ يُرْضِي رَبَّكَ اْلكَرِيمَ .. يَوْمَ تَقِفُ بَيْنَ يَدَيْهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَ أَيْنَمَا كُنْتَ ..أَمَّا نَحْنُ فَاللهُ مَعَنَا .. وَ يَكْتُبُ لَنَا الْخَيْرَ .. وَ هُوَ أَعْلَمُ وَ أَدْرَي سُبْحَانَهُ وَ أَحْكَمُ
"Janganlah bersedih dan janganlah memikirkan aku, keluargamu, hartamu maupun anakmu. Tapi pikirkanlah agamamu, kewajibanmu dan dakwahmu!"
Demi Allah, kami tidak meminta darimu sesuatu yang spesial untuk kami. Kami hanya meminta darimu sikap yang lurus dan mulia… kapan saja dan di mana saja engkau berada…sikap yang akan membuat wajahmu bersinar terang dan membuat Rabbmu Yang Maha Mulia ridha….pada hari engkau berdiri di hadapan-Nya.
Adapun kami, maka Allah bersama kami dan Allah menetapkan kebaikan untuk kami. Allah subhanahu wa ta'ala lebih tahu, lebih mengerti dan lebih bijaksana."
Allahu akbar, subhanallah, maa syaa Allah….
Untaian nasehat yang sangat indah dan penuh hikmah. Nasehat yang singkat namun akan senantiasa dikenang, tidak saja oleh sang suami, namun juga oleh tinta emas sejarah. Sebuah nasehat yang menggambarkan jati diri muslimah, sebagai seorang istri shalihah dan ibumurabbiyah (pendidik).
Nasehat wanita muslimah itu telah berlalu sejak lebih dari 30 tahun yang lalu. Namun gemanya senantiasa terngiang dalam relung hati suaminya yang paling dalam. Begitu dalamnya makna nasehat itu, sehingga mampu membuat sang suami dan siapa pun yang memiliki nurani akan menitikkan air matanya, setiap kali mengingat-ingat nasehatnya.
Tahukah Anda, siapa gerangan sang wanita muslimah itu dan siapa pula suami yang ia jenguk di penjara rezim Nushairiyah Suriah?
Nama wanita muslimah yang hebat itu adalah Banan binti Ali Ath-Thanthawi. Sang ayah, syaikh Ali Ath-Thanthawi tentu tidak asing lagi bagi para aktivis Islam di seluruh penjuru dunia. Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar, juru dakwah, wartawan senior, sastrawan dan dosen di sejumlah perguruan tinggi di Suriah, Mesir dan Timur Tengah.
Syaikh Ali Ath-Thanthawi adalah seorang ulama rabbani yang dikenal luas dengan ketekunanannya dalam berdakwah dan menulis. Jiwa keulamaan bersatu dengan jiwa wartawan dan sastrawan dalam diri beliau. Keindahan bahasa dan sastranya diakui oleh seluruh dunia. Karya-karyanya menjadi buruan para pembaca. Puluhan ribu mahasiswa dan mahasiswi pernah belajar kepadanya. Dan lebih dari itu semua, beliau adalah seorang sosok suami yang shalih dan ayah yang shalih. Istri dan anak-anaknya menjadi tauladan masyarakat muslim di Suriah dan dunia Arab.
Banan binti Ali Ath-Thanthawi adalah salah seorang putrid syaikh Ali Ath-Thanthawi. Ia diasuh dan dididik oleh seorang ayah yang shalih dan ibu yang shalihah. Banan Ath-Thanthawi dilahirkan pada tahun 1941 M di Damaskus, ibukota Suriah. Sebagai seorang ulama rabbani, syaikh Ali Ath-Thanthawi gigih menentang kezaliman dan kekafiran rezim Nushairiyah Suriah. Akibatnya, beliau dan seluruh keluarganya menghabiskan sebagian besar umurnya di luar Suriah, sebagai buronan politik rezim Nushairiyah Hafizh Asad.
Banan binti Ali Ath-Thanthawi menikah dengan syaikh Isham Al-Athar, seorang ulama, juru dakwah, pemikir Islam dan mantan muraqib 'aam (pengawas umum) kelompok Ikhwanul Muslimin.
Banan binti Ali Ath-Thanthawi gugur sebagai syahid oleh operasi khusus Dinas Intelijen Suriah atas perintah langsung dari sang presiden dan jagal Nushairiyah, Hafizh Asad.
Syaikh Isham Al-Athar dalam sebuah wawancara eksklusif dengan sebuah stasiun TV mengisahkan bagaimana Dinas Intelijen Suriah membunuh istrinya.
"Pada hari itu, pukul 09.30 dari hari Selasa, 17 Mei 1981 M, pintu kamar apartemen terbuka. Mereka menyerbu masuk melalui kamar tetangga. Mereka telah tinggal begitu lama di gedung depan apartemen untuk mengawasinya. Mereka menangkap tetangga kamar apartemen dan mengancamnya agar membiarkan pintu kamar apartemen. Sebab tetangga wanita ini tinggal sendirian, semoga Allah merahmatinya.
Ketika pada hari itu istri saya membuka pintu kamar, maka mereka langsung menembakkan lima peluru ke arahnya. Satu peluru di keningnya, satu peluru di lehernya, dua peluru di dadanya dan sebuah peluru di perutnya.Tentu saja ia tidak mengira akan mendapat serangan itu."
Syaikh Isham Al-Athar tak kuasa menahan air matanya saat mengisahkan detik-detik pembunuhan yang keji dan pengecut itu.
"Semoga Allah merahmatinya, "kata wartawan TV dengan mata berkaca-kaca.
Seorang ulama rabbani dari Mesir yang dikenal lantang menyuarakan kebenaran dan melawan kebatilan, syaikh Abdul Hamid Kisyk, memberikan komentar tersendiri atas pembunuhan biadab yang dilakukan dinas intelijen Suriah terhadap putri salah seorang kawan karibnya tersebut.
Dalam sebuah khutbah Jum'at di Mesir, ulama Al-Azhar itu dengan lantang menyuarakan:
"Apa yang dilakukan oleh rezim Suriah? Rezim Suriah mengirimkan dinas intelijennya ke Jerman Barat, maka mereka menyerang rumah seorang wanita muslimah yang mulia, yang meramaikan rumahnya dengan ibadah kepada Rabbnya dan shalat kepada-Nya; seorang wanita muslimah Suriah, yang berhijrah menyelamatkan diri dari kebiadaban rezim Hafizh Asad ke Jerman Barat, untuk tinggal bersama suaminya, sang mujahid Isham Al-Athar.
Lalu apa yang dilakukan oleh rezim Asad dan dinas intelijennya yang biadab? Ia mengirimkan dinas intelijennya ke Jerman Barat, maka mereka menyerbu rumah wanita yang mulia ini saat ia tengah membaca dengan tartil kitab suci Rabbnya. Maka mereka pun membunuhnya.
Sebuah tindakan yang tidak layak dengan kemuliaan kaum laki-laki. Sebuah tindakan yang semuanya adalah kekejian dan kerendahan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam telah mengajarkan kepada pasukan Islam yang berperang adab-adab yang harus dijaga dalam peperangan.
Beliau bersabda: "Janganlah kalian membunuh anak-anakjanganlah kalian membunuh wanita, janganlah kalian membunuh orang tua renta, dan kalian akan menjumpai orang-orang yang menghabiskan usianya dengan beribadah dalam biara maka janganlah kalian membunuh mereka!"
Jangan membunuh anak kecil, wanita, orang tua renta dan pendeta dalam biara. Namun kita berada di zaman di mana bangsa Arab mengalami kehinaan. Mereka tidak malu membunuhi kaum muslimin. Mereka tidak malu membunuhi orang-orang yang bertauhid.
Hafizh Asad mengirim dinas intelijennya ke Jerman untuk membunuh seorang wanita mulia yang tidak melakukan kejahatan apapun. Mereka membunuhnya, padahal ia tengah membaca dengan tartil kitab suci Rabbnya. Mereka membunuhnya, padahal ia tengah bersimpuh di hadapan Rabbnya.
Ia adalah istri seorang mujahid, istri seorang juru dakwah besar Islam di Jerman. Mereka menyerbu rumahnya. Mereka tidak menaruh belas kasihan kepada kewanitaannya, mereka tidak menghormati kehormatannya dan mereka tidak mengagungkan kitab suci Rabbnya. Mereka membunuhnya. Mereka membunuhnya."
Sebuah khutbah yang sangat mengharukan dari ulama rabbani yang tak pernah gentar menentang kekafiran dan kezaliman rezim Jamal Abdul Nashir, Anwar Sadat dan Husni Laa Mubarak.
Saat suaminya mengalami kelumpuhan di penjara akibat beratnya siksaan dan buruknya pelayanan kesehatan, Banan Ath-Thanthawi dengan setia membesarkan hati suaminya. Ia memberikan untaian nasehat yang sangat melegakan hati suaminya:
لاَ تَحْزَنْ يَا عِصَامُ وَ لاَ تَأْسَ
يَرْفَعُ اللهُ مَنْ يَبْتَلِيهِ
إِنْ عَجَزْتَ عَنِ السَّيْرِ سِرْتَ بِأَقْدَامِنَا
وَإِنْ عَجَزْتَ عَنِ الْكِتَابَةِ كَتَبْتَ بِأَيْدِينَا
وَاللهُ مَعَكَ اللهُ اللهُ مَعَكَ
وَلَنْ يَتْرُكَكَ وَلَنْ يُضِيعَ مَا أَنْتَ فِيهِ      
"Janganlah engkau sedih, wahai Isham, jangan pula putus asa!
Allah akan mengangkat derajat orang yang diujinya
Jika engkau tak mampu berjalan (dengan kaki-kakimu), engkau bisa berjalan dengan kaki-kaki kami
Jika engkau tak mampu lagi menulis (dengan tanganmu), engkau bisa menulis dengan tangan-tangan kami
Allah senantiasa bersamamu, Allahu senantiasa bersamamu
Allah sekali-kali tidak akan meninggalkanmu dan sekali-kali tidak akan menelantarkan keadaanmu."
Setelah hijrah ke Jerman Barat, Banan Ath-Thanthawi mendirikan sebuah organisasi dakwah Islam. Ia giat menulis artikel, memberikan ceramah dan mengadakan kegiatan-kegiatan dakwah di Jerman. Ia memiliki keberanian yang sangat luar biasa, yang akan mengingatkan generasi umat Islam zaman ini akan keberanian dan perjuangan para mujahidah muslimah generasi shahabat.
Dinas Intelijen Suriah membunuh Banan Ath-Thanthawi di rumahnya di kota Achen, Jerman Barat pada tanggal 17 Maret 1981 M. Jenazahnya dimakamkan pada tanggal 20 Maret 1981 M. Dalam acara pemakaman jenazah sang istri tercinta, syaikh Isham Al-Athar menegaskan walau dilanda kesedihan yang luar biasa, beliau berjanji akan melanjutkan perjuangan dan tidak akan menyerahkan dirinya kepada rezim Nushairiyah Hafizh Asad.
Wawancara khusus syaikh Isham Al-Athar dengan stasiun TV ini sendiri dilakukan pada 20 Mei 2011 M, mengenang 30 tahun gugurnya sang istri, mujahidah dan juru dakwah Islam yang lantang menyuarakan kebenaran.
Kini telah 31 tahun berlalu dari gugurnya sang muslimah mujahidah. Namun semangat, keberanian dan ketulusannya dalam membela kaum muslimin dan melawan kezaliman rezim Nushairiyah Suriah akan senantiasa diwarisi oleh umat Islam Suriah secara khusus dan umat Islam seluruh dunia secara umum. Semoga Allah menerima amalnya dan menempatkannya dalam surga Firdaus yang tertinggi.
Artikel By: Arrahmah.com

Selasa, 13 November 2012

Biarkan Mereka ke Bulan, Mari Kita ke Surga


Segala puji hanya untuk Allah, Rabb semesta alam, shalawat dan salam semoga tercurah bagi Muhammad Rasulillah, para sahabat dan pengikutnya.

Kerap dalam beberapa diskusi religi, nyata maupun maya, kita mendengar atau membaca dialog seperti ini:

A: Jadi akhi, berdasarkan dalil-dalil tersebut, para Ulama menyimpulkan bahwa memelihara jenggot hukumnya adalah wajib dan memangkasnya adakah haram. Begitu akh…

B: Tapi Ulama lain ada yang membolehkan Akh… Syaikh Fulan pun potong jenggot…

C: Sudahlah, orang kafir sudah sampai ke bulan, kita masih sibuk debat soal jenggot.

Dialog seperti ini kerap muncul dalam diskusi/debat masalah keagamaan lainnya, seperti masalah hukum isbal[1] dan memelihara jenggot, jambang dan rambut di wajah bagi laki-laki, hukum musik dan sebagainya yang memang masih sering diperdebatkan oleh sebagian kalangan kaum muslimin. Yang menarik perhatian dari dialog tersebut dan menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah perkataan pihak ketiga (C): “…sudahlah, orang kafir sudah sampai ke bulan, kita masih sibuk debat soal jenggot (isbal, dst…)“.

Saudaraku sekalian yang dirahmati Allah, mari kita cermati dengan baik perkataan di atas berdasarkan timbangan metodologi ilmiah dalam Islam.

 Ke Bulan, Kedudukannya dalam Islam

Islam mendorong kita untuk menuntut ilmu-ilmu yang bermanfaat. Para ulama[2] mengatakan, bahwa ilmu (yang Islam memotivasi untuk mempelajarinya -pen), terbagi menjadi dua: (1) ilmu yang hukum mempelajarinya adalah fardhu ‘ain (wajib dipelajari oleh setiap individu muslim dan ia tidak boleh bodoh dalam ilmu ini –pen), karena setiap muslim memerlukan ilmu tersebut dalam masalah agama, akhirat dan muamalahnya; (2) ilmu yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah, yaitu ilmu tambahan yang faedah mempelajarinya dibutuhkan orang banyak, walau tidak begitu mendesak bagi individu tertentu, sehingga jika sudah ada sejumlah orang yang mempelajarinya dan jumlahnya telah mencukupi kebutuhan, maka gugurlah kewajiban mempelajarinya bagi yang lainnya. Contoh ilmu yang fardhu ‘ain antara lain: ilmu akidah dan tauhid, juga ilmu tentang tata cara wudhu dan shalat yang benar. Setiap orang wajib mempelajari hal-hal tersebut. Karena ia tidak akan bisa berwudhu dan mengerjakan shalat dengan benar selain dengan mempelajari hal-hal mengenai hal tersebut[3]. Contoh ilmu yang fardhu kifayah antara lain: ilmu kedokteran, ilmu perekonomian, ilmu pengelolaan air bersih dan energi (listrik, bahan bakar) dan sebagainya, yang memang faedah mempelajarinya dibutuhkan untuk kemashlahatan orang banyak.

Berdasarkan pembahasan tentang dua ilmu di atas, yang mempelajarinya memang diperintahkan dalam syari’at, lalu masuk dalam kategori manakah ilmu tentang cara mendarat di bulan? Yang pasti bukan fardhu ‘ain karena ilmu ini bukan penunjang agama, akhirat dan muamalah seorang muslim, bukan pula ilmu yang belajar dan pengamalannya akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Kalau dikatakan fardhu kifayah, maka pendapat ini lemah dalam sisi urgensi, karena hidup manusia dapat terus berlangsung walau tidak ada yang pernah ke bulan. Bahkan, ke bulan dalam realitanya tidak lebih dari sekedar pertunjukkan kebanggaan negara kafir untuk mengkerdilkan kita (kaum muslimin) dan membuat kita selalu merasa ‘tertinggal’ atau ‘terbelakang’, lantas berupaya mengejar mereka hingga akhirnya kita melupakan kewajiban menuntut ilmu agama.

Sementara, bagaimanakah kedudukan pembahasan masalah halal haram atau wajib tidaknya sesuatu dalam Islam, seperti halal haram memotong jenggot dan isbal untuk laki-laki, halal haram musik dan seterusnya, meskipun dianggap remeh bagi sebagian kaum muslimin?

Merujuk pada definisi dua ilmu yang telah lewat, maka ilmu tentang masalah-masalah di atas termasuk kategori ilmu yang fardhu ‘ain (walau tingkat kewajibannya bisa jadi berbeda antara laki-laki dan perempuan). Hal ini dikarenakan masalah-masalah tersebut menjadi bahasan penting bagi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, para sahabat dan para ulama (salafush sholih) setelah mereka. Benar salahnya penyikapan kita terhadap masalah di atas akan menunjang baik dan tidaknya agama, akhirat dan muamalah kita. Terlebih lagi, berbagai dalil Al-Qur’an dan hadits seputar masalah haramnya memotong jenggot dan isbal bagi laki-laki, haramnya musik dan sebagainya, kebanyakan mengandung ancaman neraka bagi pelanggarnya. Ini menunjukkan bahwa Islam menganggap penting masalah yang oleh sebagian kita dianggap tidak lebih penting daripada pencapaian orang kafir ke bulan. Yah, kecuali dalil-dalil tersebut tidak lagi penting dalam kehidupan kita di dunia.

Kalau begitu, pantaskah “ke bulan” yang bukan ilmu yang didorong Islam untuk mempelajarinya, dianggap lebih urgent daripada ilmu tentang jenggot, isbal, musik, yang merupakan ilmu yang fardhu ‘ain? Seremeh itukah ancaman neraka pada berbagai dalil yang Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sebutkan tentang masalah-masalah tersebut untuk, ya sudahlah, tidak usah kita bahas dan sebaiknya ditinggalkan saja karena orang kafir sudah ke bulan, kita masih sibuk berdebat masalah itu?

Ke Bulan, Kedudukannya Bagi Orang Kafir

10 tahun lalu penulis pernah melihat di siaran salah satu TV nasional, film sains dokumenter yang dibuat oleh ilmuwan akademisi di US, yang membantah kebohongan klaim NASA bahwa mereka pernah mengirimkan manusia ke bulan. Dengan berbagai eksperimen dan analisis, baik terhadap kondisi alam untuk mencapai bulan, maupun terhadap video pendaratan ke bulan yang selama ini diklaim oleh NASA, mereka menyimpulkan bahwa sampainya NASA ke bulan hanya bohong belaka.

Kami melihat bahwa jargon “ke bulan” hanya sekedar kebanggaan orang kafir untuk membuat kaum muslimin ‘minder’, hingga akhirnya sibuk mengejar ‘prestasi ke bulan’ dan melupakan urgensi mempelajari agama Islam?

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُم

Orang-orang Yahudi dan Nasrani sekali-kali tidak akan rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. Al Baqarah: 120)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah bersabda,

]لَتَتّبِعُنّ سَنَنَ الّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ. شِبْراً بِشِبْرٍ، وَذِرَاعاً بِذِرَاعٍ. حَتّىَ لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبَ لاَتّبَعْتُمُوهُمْ” قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللّهِ آلْيَهُودُ وَالنّصَارَىَ؟ قَالَ “فَمَنْ؟”[

"Sungguh kalian benar-benar akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai-sampai bila mereka masuk ke liang dhabb (sejenis biawak padang pasir), niscaya kalian pun akan mengikuti mereka.” Kami berkata: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu orang-orang Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab: “Kalau bukan mereka lalu siapa lagi?”  (HR. Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu)

Teman, mari bertanya, apakah kita pernah merasakan faedah nyata dari ‘orang kafir bisa ke bulan’? Apakah Anda yakin bahwa mereka yang berhasil ke bulan –seandainya nyata– akan tanpa pamrih membagi manfaatnya pada kita? Atau sebenarnya kita hanya dibuat merasa perlu mengejar jalan mereka?

Seandainya pun nyata, lebih berhargakah 'ke bulan' daripada mempelajari tauhid, shalat, perhitungan dan pembagian zakat dan warisan, puasa dan haji beserta masalah nawazilnya (masalah terkini), hukum seputar jual beli, bentuk-bentuk riba, muamalat kontemporer, dan cabang ilmu agama lainnya, seperti halal haram memotong jenggot dan isbal bagi laki-laki, halal haram musik, hingga layak dikatakan, "…sudahlah, itu tidak usah dibahas. Orang kafir sudah ke bulan, kita masih sibuk berdebat masalah itu"?

Akhirnya kami perlu mengatakan, toh kebanggaan kaum kafir semuanya akan berakhir kala datang hari kiamat.

Ke Bulan, Kedudukannya Bagi Si Penengah

Kami bersangka baik, bahwa bisa jadi si penengah dalam dialog yang kami ungkap di awal tulisan ini, hanya 'sekedar mencari contoh' kemajuan orang kafir yang belum bisa dicapai umat Islam –artinya tidak terbatas tentang ke bulan saja–, dan ia hanya 'sekedar ingin mengingatkan' agar kita tidak sibuk membahas masalah agama hingga melupakan ketertinggalan mereka dari orang kuffar.

Namun yang perlu disadari, syubhat yang timbul dari slogan "ke bulan" ini, manakala terpatri di benak sebagian orang, membentuk mindset bahwa mempelajari ilmu duniawi, seperti membuat inovasi baru dalam teknologi, di zaman ini lebih penting daripada mempelajari agama yang toh, topiknya bagi sebagian orang remeh pula, seperti masalah jenggot, isbal dan sebagainya.

Allahul musta'an, ini pun menjadi fenomena nyata di kalangan kita, kaum muslimin. Banyak di antara kita yang menghabiskan umur untuk mempelajari sains dan teknologi, namun 'kosong' dalam ilmu agama. Banyak dari kita yang bergelar master, doktor, bahkan profesor, namun belum benar cara berwudhu dan shalatnya. Cabang-cabang ilmu tentang aqidah, ibadah, muamalah, terlebih lagi ilmu alatnya, seperti qawaid bahasa Arab, ilmu ushul fiqh, ilmu musthalah al-hadits, dan lainnya seakan hanya monopoli orang-orang yang mau 'jadi ustadz' dan tidak untuk scientist (ilmuwan). Ya, mungkin karena sebagian kita memang sibuk juga mengejar ‘sampai ke bulan’.

Beragama yang Ilmiah

Kebanyakan perkataan di atas kami temui pada kalangan kaum muslimin yang belum mampu berargumentasi ilmiah yang ditunjang dengan ilmu yang benar. Bisa jadi karena orangnya enggan mempelajarinya, dan bisa jadi karena belajar dengan/dari manhaj (metodologi beragama) yang memang tidak menekankan pemahaman terhadap ilmu-ilmu alat (bahasa Arab, qowa’id, ushul, dan lainnya) sehingga tidak mampu berargumentasi dengan hujjah yang kuat. Akhirnya, ‘ke bulan’ menjadi andalan untuk menghindari diskusi yang seharusnya bisa ilmiah.

Dari sini, kami menghimbau kepada seluruh kaum muslimin, untuk bersungguh-sungguh menuntut ilmu agama dengan baik, dengan/dari manhaj yang lurus. Manhaj yang lurus adalah yang membawa kepada pemahaman agama yang benar ditunjang dengan ilmu-ilmu alatnya. Manhaj yang ketika berbicara suatu masalah agama, tidak lepas dari nukilan nash Al-Qur’an dan hadits.

Terakhir, kami kutip perkataan yang baik, “Wahai para pemuda, jangan sia-siakan waktu Anda untuk terkesima dengan beragama dengan cara haroki. Terkesan indah namun tidak asli. Terkesan aktual dan popular namun tidak hakiki. Terkesan modern dan hebat namun tidak lestari. Seperti mainan anak-anak kecil di masanya, akan lenyap dengan cepat diganti oleh gaya dan trend yang lebih gokil dan terkini[4].”

Fawaid

1- Ilmu agama adalah bekal kebahagiaan bagi manusia dalam kehidupannya di dunia dan akhirat. Seremeh apapun topiknya bagi sebagian orang, mempelajarinya tetaplah merupakan kewajiban bagi umat Islam. Keutamaan dan pahala mempelajarinya tidak akan setara dibandingkan dengan ‘sekedar ke bulan’ ataupun ilmu sains lainnya.

2- Jargon-jargon kemajuan kaum kafir kebanyakan hanya untuk mengkerdilkan kaum muslimin. Berusaha mengejar mereka dengan menghabiskan umur tanpa mempelajari agama tidaklah mendatangkan kemuliaan di sisi Allah ‘azza wa jalla.

3- Kebaikan kaum muslimin tidaklah terletak pada kemajuan teknologi yang mampu mereka ciptakan. Kebaikan mereka terletak pada ilmu agama dan penerapannya dalam kehidupan hari-hari mereka, dengan mencontoh pengamalan generasi pendahulu mereka dalam Islam. Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata,

لا  يَصْلُحُ آخِرُ هَذِهِ اْلأمَّةِ إِلا بِمَا صَلُحَ بِهِ أَوَّلُهَا

Yang bisa memperbaiki keadaan generasi akhir umat ini hanyalah hal yang telah berhasil memperbaiki keadaan genarasi awalnya”.[5]

Semoga Allah menjadikan tulisan ini sebagai sarana dakwah yang ikhlas untuk agama-Nya dan menjadi nasehat yang dapat diterima oleh saudara-saudara kami yang membacanya.

Riyadh, Sabtu, 27 Dzulqo’dah 1433 H (13 Oktober 2012)
Penulis: Muflih Safitra bin Muhammad Saad Aly
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id


[1] Menjulurkan pakaian/celana/sarung melebihi mata kaki
[2] Di antaranya Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di ketika menjelaskan Qoidah Fiqhiyyah kedua dalam kitab beliau Al-Qawa’id wal-Ushul al-Jami’ah wal-Furuq wat-Taqasim al-Badi’ah an-Nafi’ah (Majmu’ Muallafat Syaikh Al-’Allamah Abdurrahman as-Sa’di 7: 12, cetakan pertama, 1432 H (2011 M), Muassasah Al-Anood Al-Khairiyyah, Riyadh). Nuskhoh kitab ini beserta tahqiqnya oleh Dr. Khalid bin ‘Ali bin Muhammad al-Musyaiqih dapat didownload di link: http://www.islamhouse.com/p/205540.
[3] Islam mendorong umatnya untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut, meskipun setiap orang berbeda tingkat kewajibannya sesuai kondisinya. Contohnya, seseorang yang akan naik haji tahun ini berkewajiban mempelajari manasik haji dengan tingkat kewajiban yang lebih tinggi daripada orang yang akan naik haji beberapa tahun lagi, dst.
[5] Asy Syifa fi Huquuqil Musthofa 2/88, oleh Al Qadhi ‘Iyadh.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Web Hosting Coupons